Selasa, 24 April 2012

BUDAYA BURUK INDONESIA


BUDAYA BURUK INDONESIA

Bukan maksutnya ingin menurunkan derajat indonesia, tapi untuk membuat INDONESIA sadar bahwa kita punya budaya yang buruk.

1.Orang Indonesia suka rapat dan membentuk panitia macam-macam. Setiap ada kegiatan selalu di rapatkan dulu, tentunya dengan konsumsinya sekalian. Setelah rapat perlu dibentuk panitia kemudian diskusi berulang kali,saling kritik, dan merasa idenya yang paling benar dan akhirnya pelaksanaan tertunda-tunda padahal tujuannya program tersebut sebetulnya baik.
2. Budaya Jam Karet
menurut beberapa orang asing yang pernah ke Indonesia. Ketika ditanya kebudayaan apa yang
menurut anda terkenal dari Indonesia dengan spontan mereka jawab : Jam Karet! Saya tertawa tapi sebetulnya malu dalam hati.Sudah sebegitu parahkah disiplin kita.
3. Kalau bisa dikerjakan besok kenapa tidak (?)
Kalau orang lain berprinsip kalau bisa dikerjakansekarang kenapa ditunda besok? Orang Indonesia mempunyai budaya menunda-nunda pekerjaan.
4. Umumnya tidak mau turun ke Lapangan
orang Indonesia yang hebat sekali dalam bicara dan memberikan instruksi tapi jarang yang mau
turun langsung ke lapangan.



BUDAYA  JEPANG YANG PATUT DITIRU INDONESIA

Budaya malu (shame culture) sejatinya merupakan sikap dan sifat bangsa Timur/Asia termasuk bangsa kita.Intinya merupakan wujud hati nurani yang benar, bukan hanya di permukaan saja atau cari-cari publisitas saja.Sampai kinipun, bagi masyarakat Jepang moral atau akhlak dalam konsep rinri (bertata-krama), jiwanya datang dari China kuno. Ajaran Konfusianisme di Jepang sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi sebagai panduan yang  menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga, tapi juga dalam  keseharian pelayanan brokrasi dan kelincahan bisnis/mencari untung dengan pertanggungjawaban sosial. 
Filsuf kuno Konfusius sudah sejak zaman dulu mengungkapkan secara halus berikut ini “... kesalahan mendasar kita adalah mempunyai kesalahan dan tidak sudi memperbaikinya (the real fault is to have faults and not to amend it).” Setiap kali orang Jepang membuat kesalahan fatal, karena malu menggugat diri/introspeksi diri dengan melakukan meditasi dan kemudian memperbaiki diri atau mengundurkan diri bahkan ada yang sampai ber-harakiri (bunuh diri), karena rasa malu.  
Setiap anggota masyarakat di Jepang harus berani dan fokus menatap cermin, setiap  pagi sebelum sarapan dan malam sebelum tidur selama 60 detik (satu menit), mengugat diri/introspeksi diri dan bertanya yang ada di cermin, masihkah menghayati etika & norma yang ada atau budaya malu sudah luntur dalam dirinya..??  
Dari usia dini, selain diajarkan budaya malu, anak anak diajarkan budaya saling memperhatikan & melayani orang lain, budaya ini telah ditanamkan di sekolah dasar dan TK. Kalau di Indonesia kita mengenal kata piket, di Jepang pun ada, dengan tanggung jawab yang lebih banyak. Kelompok-kelompok piket yang bertugas bukan hanya membersihkan kelas saja, tapi juga membantu memasak dan menyiapkan makanan untuk teman-temannya, menyiram tanaman dan memberi makan binatang piaraan di sekolah. Di hari-hari tertentu jika ada kegiatan bersih-bersih massal, semua orang turun tak terkecuali, termasuk para pimpinan. Di jepang tidak perlu promosi dalam bentuk foto atau siaran TV atas keterlibatan para pimpinan dalam menunjukkkan kesungguhan dan kerja keras, karena di Jepang peduli pada lingkungan & kegiatan bersih bersih masal sudah merupakan hal yang wajar. Yang tidak wajar adalah jika ada yang tidak berpartisipasi atau hanya sekedar tunjuk sana tunjuk sini. Selain itu Anak anak dididik & diberi tanggungjawab sejak dini untuk membawa tas, jaket atau perlengkapan sekolah lainnya sendiri, tanpa bantuan orang tua, saudara ataupun pembantu. 

Budaya malu, mendahulukan dan melayani orang lain ini bersumber dari ajaran Zen Buddhism. Melayani menumbuhkan rasa rendah hati dan kepekaan diri. Budaya malu menumbuhkan rasa tanggungjawab, perbaikan diri dan penyesalan yang mendalam. Padahal  banyak masyarakat Jepang yang tidak beragama, tapi justru  mereka masih sangat teguh memegang tradisi ini dan bisa menghargai, menghormati serta bertenggang rasa pada sesama hingga kini. Betapa indahnya jika kita saling melayani sekaligus punya rasa malu dan betapa damainya jika sifat rendah hati dan saling peduli bisa menjadi keseharian kita tanpa memandang ras, suku bangsa maupun agama. 

KESIMPULAN :
Saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita sudah terlalu sering dinina- bobokan oleh istilah indonesia kaya,masyarakatnya suka gotong royong, ada pancasila,agamanya kuat, dan lain-lain.Dan itu hanyalah istilah, kenyataannya bisa kita lihat sendiri. Ternyata negarakita hancur-hancuran, bahkan susah untuk recovery lagi, mana sifat gotong royong yang membuat negara
seperti Korea, bisa bangkit kembali. Kita selalu senang dengan istilah tanpa action. Kita terlalu banyak diskusi,saling lontar ide, kritik, akhirnya waktu terbuang percuma tanpa action. Karena belum apa-apa sudah ramai duluan. Kapan kita akan sadar dan intropeksi akan kekurangan-kekurang an kita dan tidak selalu menjelek-jelekkan orang lain? Selama itu belum terjawab kita akan terus seperti ini, menjadi negara yang katanya sudah mencapai titik minimal untuk disebut  negara beradab dan tetap terbelakang disegala bidang. Mudah-mudahan pernyataan beliau menjadi peringatan bagi kita semua, terutama saya pribadi agar bisa lebih banyak belajar dan mampu merubah diri untuk menjadi yang lebih baik.