BUDAYA BURUK INDONESIA
Bukan maksutnya ingin menurunkan derajat indonesia, tapi untuk membuat INDONESIA sadar bahwa kita punya budaya yang buruk.
1.Orang Indonesia suka rapat dan membentuk panitia macam-macam. Setiap ada kegiatan selalu di rapatkan dulu, tentunya dengan konsumsinya sekalian. Setelah rapat perlu dibentuk panitia kemudian diskusi berulang kali,saling kritik, dan merasa idenya yang paling benar dan akhirnya pelaksanaan tertunda-tunda padahal tujuannya program tersebut sebetulnya baik.
2. Budaya Jam Karet
menurut beberapa orang asing yang pernah ke Indonesia. Ketika ditanya kebudayaan apa yang
menurut anda terkenal dari Indonesia dengan spontan mereka jawab : Jam Karet! Saya tertawa tapi sebetulnya malu dalam hati.Sudah sebegitu parahkah disiplin kita.
3. Kalau bisa dikerjakan besok kenapa tidak (?)
Kalau orang lain berprinsip kalau bisa dikerjakansekarang kenapa ditunda besok? Orang Indonesia mempunyai budaya menunda-nunda pekerjaan.
4. Umumnya tidak mau turun ke Lapangan
orang Indonesia yang hebat sekali dalam bicara dan memberikan instruksi tapi jarang yang mau
turun langsung ke lapangan.
Budaya malu (shame
culture) sejatinya merupakan sikap dan sifat bangsa Timur/Asia termasuk
bangsa kita.Intinya merupakan wujud hati nurani yang benar, bukan hanya di
permukaan saja atau cari-cari publisitas saja.Sampai kinipun, bagi masyarakat
Jepang moral atau akhlak dalam konsep rinri
(bertata-krama), jiwanya datang dari China kuno. Ajaran Konfusianisme
di Jepang sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi sebagai panduan yang
menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga,
tapi juga dalam keseharian pelayanan brokrasi dan kelincahan
bisnis/mencari untung dengan pertanggungjawaban sosial.
Filsuf kuno
Konfusius sudah sejak zaman dulu mengungkapkan secara halus berikut ini “...
kesalahan mendasar kita adalah mempunyai kesalahan dan tidak sudi
memperbaikinya (the real fault is to have faults and not to amend it).”
Setiap kali orang Jepang membuat kesalahan fatal, karena malu menggugat
diri/introspeksi diri dengan melakukan meditasi dan kemudian memperbaiki diri
atau mengundurkan diri bahkan ada yang sampai ber-harakiri (bunuh
diri), karena rasa malu.
Setiap anggota
masyarakat di Jepang harus berani dan fokus menatap cermin, setiap pagi
sebelum sarapan dan malam sebelum tidur selama 60 detik (satu menit), mengugat
diri/introspeksi diri dan bertanya yang ada di cermin, masihkah menghayati
etika & norma yang ada atau budaya malu sudah luntur dalam dirinya..??
Dari usia dini,
selain diajarkan budaya malu, anak anak diajarkan budaya saling memperhatikan
& melayani orang lain, budaya ini telah ditanamkan di sekolah dasar dan TK.
Kalau di Indonesia kita mengenal kata piket, di Jepang pun ada, dengan tanggung
jawab yang lebih banyak. Kelompok-kelompok piket yang bertugas bukan hanya
membersihkan kelas saja, tapi juga membantu memasak dan menyiapkan makanan
untuk teman-temannya, menyiram tanaman dan memberi makan binatang piaraan di
sekolah. Di hari-hari tertentu jika ada kegiatan bersih-bersih massal, semua
orang turun tak terkecuali, termasuk para pimpinan. Di jepang tidak perlu
promosi dalam bentuk foto atau siaran TV atas keterlibatan para pimpinan dalam menunjukkkan kesungguhan
dan kerja keras, karena di Jepang peduli pada lingkungan & kegiatan bersih
bersih masal sudah merupakan hal yang wajar. Yang tidak wajar adalah jika ada
yang tidak berpartisipasi atau hanya sekedar tunjuk sana tunjuk sini. Selain
itu Anak anak dididik & diberi tanggungjawab sejak dini untuk membawa tas,
jaket atau perlengkapan sekolah lainnya sendiri, tanpa bantuan orang tua,
saudara ataupun pembantu.
Budaya malu,
mendahulukan dan melayani orang lain ini bersumber dari ajaran Zen Buddhism.
Melayani menumbuhkan rasa rendah hati dan kepekaan diri. Budaya malu
menumbuhkan rasa tanggungjawab, perbaikan diri dan penyesalan yang mendalam.
Padahal banyak masyarakat Jepang yang tidak beragama, tapi justru
mereka masih sangat teguh memegang tradisi ini dan bisa menghargai,
menghormati serta bertenggang rasa pada sesama hingga kini. Betapa
indahnya jika kita saling melayani sekaligus punya rasa malu dan betapa
damainya jika sifat rendah hati dan saling peduli bisa menjadi keseharian kita
tanpa memandang ras, suku bangsa maupun agama.
KESIMPULAN :
Saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita sudah
terlalu sering dinina- bobokan oleh istilah indonesia kaya,masyarakatnya suka
gotong royong, ada pancasila,agamanya kuat, dan lain-lain.Dan itu hanyalah
istilah, kenyataannya bisa kita lihat sendiri. Ternyata negarakita
hancur-hancuran, bahkan susah untuk recovery lagi, mana sifat gotong royong
yang membuat negara
seperti Korea, bisa bangkit kembali. Kita selalu senang dengan istilah tanpa action. Kita terlalu banyak diskusi,saling lontar ide, kritik, akhirnya waktu terbuang percuma tanpa action. Karena belum apa-apa sudah ramai duluan. Kapan kita akan sadar dan intropeksi akan kekurangan-kekurang an kita dan tidak selalu menjelek-jelekkan orang lain? Selama itu belum terjawab kita akan terus seperti ini, menjadi negara yang katanya sudah mencapai titik minimal untuk disebut negara beradab dan tetap terbelakang disegala bidang. Mudah-mudahan pernyataan beliau menjadi peringatan bagi kita semua, terutama saya pribadi agar bisa lebih banyak belajar dan mampu merubah diri untuk menjadi yang lebih baik.
seperti Korea, bisa bangkit kembali. Kita selalu senang dengan istilah tanpa action. Kita terlalu banyak diskusi,saling lontar ide, kritik, akhirnya waktu terbuang percuma tanpa action. Karena belum apa-apa sudah ramai duluan. Kapan kita akan sadar dan intropeksi akan kekurangan-kekurang an kita dan tidak selalu menjelek-jelekkan orang lain? Selama itu belum terjawab kita akan terus seperti ini, menjadi negara yang katanya sudah mencapai titik minimal untuk disebut negara beradab dan tetap terbelakang disegala bidang. Mudah-mudahan pernyataan beliau menjadi peringatan bagi kita semua, terutama saya pribadi agar bisa lebih banyak belajar dan mampu merubah diri untuk menjadi yang lebih baik.