Budaya dukun (paranormal) Di Indonesia
Budaya : dukun-dukun gunung bromo
LAKSANA AGUNG SAPUTRA
Sa i (60), seorang calon dukun, merapalkan mantra pulun sebagai ujian pengukuhan dukun pandhita pada Yadnya Kasada di Pura Luhur Poten di kawasan laut pasir Tengger, Jawa Timur, Minggu (6/9) dini hari. Dukun pandhita adalah tokoh masyarakat yang menjadi kunci kehidupan spiritual dan tradisi masyarakat Tengger secara komunal.
SUKU TENGGER
Dukun-dukun Gunung Bromo
Laksana Agung Saputra
Purnama sempurna pada hari ke-14 bulan Kasada. Dalam temaram cahayanya yang menyapu lembut laut pasir Tengger, ritual inti Yadnya Kasada digelar pada suhu udara 2-5 derajat celsius.Prosesi Yadnya Kasada dimulai sejak 28 Agustus.Puncaknya adalah ritual di Pura Luhur Poten di laut pasir Tengger, Minggu (6/9) dini hari.Prosesi dilanjutkan dengan labuh sesaji ke dalam kawah Gunung Bromo, sebuah peringatan atas sebuah legenda yang diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tengger.Di pelataran utama Pura Luhur Poten berdiri sebuah pendapa berukuran 10 meter x 10 meter menghadap ke selatan, persis ke arah Padmasana. Pendapa itu memiliki bangunan sayap di kanan-kirinya, yang masing-masing bentuknya memanjang.Sayap timur merupakan tempat bagi para dukun, sesaji, dan warga dari desa-desa masyarakat Tengger di kawasan sebelah timur laut pasir, yakni wilayah Kabupaten Probolinggo dan Lumajang.Sementara sayap barat merupakan tempat bagi dukun, sesaji, dan warga dari desa-desa masyarakat Tengger di kawasan sebelah barat laut pasir, yakni wilayah Kabupaten Pasuruan dan Malang.Tak kurang 47 dukun mewakili desanya masing-masing hadir dalam Yadnya Kasada tahun ini.Mereka memakai pakaian putih atau hitam dipadu celana hitam dengan kombinasi kain batik.Selendang kuning menyilang di dada menjadi tanda bahwa mereka adalah dukun.Tak ketinggalan tentunya ikat bermotif batik diikat menutupi kepala.Para dukun itu tergabung dalam Perkumpulan Dukun Sekawasan Tengger atau sering disebut Paruman Dukun Tengger.Saat ini, Ketua Paruman Dukun Tengger adalah Mujono, dukun Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.
Mantra pulun
Sekitar pukul 03.00, ritual Yadnya Kasada dimulai.Prosesinya meliputi pembacaan sejarah Kasada, puja stuti dukun pandhita, mulunen, dan mekakat atau upacara penutup.Di antara prosesi itu, mulunen selalu menarik perhatian umat.Mulunen adalah wisuda samkara atau upacara ujian sekaligus pengukuhan dukun baru.Upacara ini hanya bisa digelar dalam prosesi Yadnya Kasada.Disebut mulunen karena calon dukun harus merapalkan mantra pulun.Mantra ini hanya dirapalkan saat wisuda samkara dan unan-unan (tradisi 5 tahunan).Seorang dukun dinyatakan lulus apabila mampu merapalkan mantra pulun dengan lancar. Kesempatan hanya diberikan maksimal tiga kali.”Kalau pertama kali merapalkan lancar, ya langsung dianggap lulus.Tetapi kalau masih kurang lancar, maka diberi kesempatan dua kali lagi.Kalau pada kesempatan ketiga tidak lancar juga, ya dianggap tidak lulus,” kata Ketua Paruman Dukun Tengger Mujono.Setiap desa Tengger memiliki satu dukun.Desa yang penduduknya padat, seperti Ngadisari, bisa dimungkinkan memiliki dua dukun.Pergantian dukun bisa dilakukan jika dukun lama meninggal atau mengajukan pengunduran diri karena sakit atau sudah terlalu tua.Pada Yadnya Kasada tahun ini, dua desa mengajukan calon dukun baru, yakni Desa Gemito, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo, dan Desa Pakel, Kecamatan Gucialit, Kabupaten Lumajang. Masing-masing adalah Sumal (40) dan Sa’i (60).Begitu upacara mulunen akan dimulai, keduanya diarak menuju pendapa utama. Saat merapalkan mantra pulun, calon dukun diapit tiga dukun, yakni Ketua Paruman, Wakil Ketua Paruman, dan dukun lain yang dituakan.Sumal yang mendapat giliran pertama langsung mengambil tempat menghadap Padmasana.Setelah menerima instruksi, ayah tiga anak itu langsung merapalkan mantra pulun.Mantra harus dirapalkan secara cepat dan lancar.Pada kesempatan pertama ia gagal. Mulutnya berhenti bergerak saat sampai pada seloka atau bait kedua. Hal sama terjadi pada kesempatan kedua. Akhirnya, Sumal berhasil menyelesaikan mantra pada kesempatan ketiga atau terakhir.”Kados pundi sedulur brang wetan? Kados pundi sedulur brang kulon?” tanya Mujono, meminta penilaian dari forum dukun.”Lulus,” kata dukun-dukun di sayap timur dan barat.Dukun dari kawasan timur disebut saudara seberang timur atau sedulur brang wetan.Sementara dukun dari kawasan barat disebut saudara seberang barat atau sedulur brang kulon.Berikutnya adalah Sa’i. Ayah empat anak dan kakek dua cucu itu dengan lancar menuntaskan mantra pulun pada kesempatan pertama sehingga sedulur brang wetan dan kulon pun langsung sepakat meluluskan dia.Mujono kemudian memberikan piagam kepada Sumal dan Sa’i sebagai tanda pengukuhan dukun sah. Dalam piagam dengan kop Paruman Dukun Sekawasan Tengger itu, masing-masing dinyatakan lulus dengan predikat baik dan berkewajiban Ngloka Pala Sraya atau melayani umat menjalankan ajaran agama Hindu.”Lega rasanya.Lega bisa dilantik menjadi dukun,” kata Sa’i seusai upacara.Rona kelegaan pun bersinar di wajah Sumal.”Untung saya berhasil pada kesempatan terakhir,” kata Sumal yang baru belajar mantra pulun dalam tiga hari terakhir.
Mistis
Menurut kisah para dukun, wisuda samkara selalu diliputi nuansa mistis.Contohnya sebagaimana dialami Marji’in (50), calon dukun dari Desa Sedaeng, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, beberapa tahun silam.Marji’in adalah pembantu dukun selama bertahun-tahun.Soal merapal mantra, Marji’in bisa dikatakan sudah mumpuni. Namun, saat merapal mantra pulun pada mulunen, ia gagal dalam dua kesempatan pertama. Pada kesempatan terakhir, Marji’in tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Kepalanya hanya bergeleng-geleng ke kanan-kiri.Pembantu dukun itu pun akhirnya dinyatakan tak lulus ujian. Sebaliknya, Sukaryono (48), calon dukun lainnya, lulus dengan lancar meski tidak mempunyai latar belakang sebagai pembantu dukun.”Aneh memang.Tapi itulah kenyataannya. Beberapa calon dukun tidak lulus ujian meski sebelumnya fasih merapalkan mantra pulun,” kata Wakil Ketua Paruman Dukun Sekawasan Tengger Sutomo.Dalam tradisi Tengger, terdapat 71 bab dan 165 lanjaran mantra serta 6 jenis mekakat atau sambutan. Setiap mantra rata-rata terdiri atas empat bait. Mantra pulun yang terdiri atas dua bait sebenarnya termasuk yang terpendek.Untuk menjadi dukun, menurut Sutomo, tentu saja syaratnya tidak sebatas mampu merapalkan mantra pulun, tetapi semua mantra.Calon dukun setidak-tidaknya harus hafal 50 persen mantra yang umum dipakai.Selebihnya bisa dihafalkan kemudian.Namun, sebelum mulunen, calon dukun harus terlebih dahulu mengetahui dan memahami sejarah dan tradisi masyarakat Tengger.Calon dukun juga diwajibkan menguasai kalender Tengger karena semua kegiatan tradisi dan keagamaan didasarkan pada perhitungan kalender tersebut.Seorang dukun juga harus menjaga kesucian hidup dan berkomitmen melayani umatnya.
Dukun gedhe
Ada dua macam dukun di Tengger, yakni dukun gedhe dan dukun cilik.Dukun gedhe atau tepatnya disebut dukun pandhita adalah pemimpin agama sekaligus tradisi yang hanya bisa dikukuhkan dalam Yadnya Kasada. Sementara dukun cilik adalah dukun sebagaimana istilah dukun yang dikenal di daerah lain. Biasanya, status dukun cilik didapat dari pengakuan warga karena seseorang memiliki kemampuan tertentu, misalnya kemampuan mengobati.Tugas dukun pandhita pertama-tama adalah menjaga kesucian diri sendiri.Kedua, menentukan hari baik untuk semua upacara.Ketiga, melaksanakan upacara.Dan, keempat, membimbing umat.Upacara-upacara yang diselenggarakan dukun pandhita tidak hanya upacara agama Hindu yang juga dirayakan umat di daerah lain, misalnya Nyepi, tetapi juga upacara tradisi khas Tengger sendiri. Dalam Hindu dikenal istilah Desa Kalapatra.Artinya, setiap umat Hindu diberi kebebasan menghayati agamanya sesuai dengan konteks budaya lokal.Ada pemeo di kalangan masyarakat Tengger, lebih baik tidak memiliki kepala desa daripada tidak memiliki dukun pandhita.Ini menunjukkan pentingnya dukun dalam kehidupan masyarakat Tengger.Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo Bambang Suprapto menyatakan, dukun pandhita adalah kunci kehidupan tradisi dan spiritual masyarakat Tengger.Sebab, dialah yang menentukan seluruh kalender kegiatan tradisi dan keagamaan, termasuk menyelenggarakannya.”Selain pemimpin spiritual, dukun pandhita juga menjadi panutan dan acuan dalam kehidupan sosial.Ia adalah tokoh masyarakat,” kata Bambang.
Manasuka
Dukun pandhita termasuk dalam struktur lembaga PHDI di kabupaten masing-masing.Namun, mereka tidak mendapat gaji.Mereka menerima imbalan uang dari upacara-upacara yang dipimpinnya, baik upacara yang bersifat massal, seperti Yadnya Kasada, maupun upacara yang bersifat pribadi, misalnya upacara meruwat anak.”Besarnya imbalan manasuka atau suka-suka sesuai kemampuan yang punya hajatan.Tapi rata-rata Rp 75.000 sampai Rp 100.000 per upacara,” kata Sutomo.Menjadi dukun pandhita memang bukan jalan yang menjanjikan kesejahteraan materi seperti anggota legislatif.Guna menopang hidup keluarga, semua dukun harus bekerja layaknya masyarakat awam Tengger, yakni mencangkul di ladang.Pada hari ke-14 bulan Kasada itu, Sumal dan Sa’i telah menjadi dukun pandhita.Dan, tugas mereka baru saja dimulai.
Kesimpulan : Budaya dukun di Indonesia masih terlihat jelas, karena Indonesia terdiri dari
berbagai suku dan dari tiap suku tersuebut biasanya memiliki dukun yang
berguna dalam upacara adat maupun dalam soal mengobati. Namun tidak
sedikit pula yang berfungsi lain, seperti santet dan pelet.
Dukun-dukun Gunung Bromo
KOMPAS, Sabtu, 12 September 2009
Selasa, 03 Juli 2012
BUDAYA BURUK INDONESIA
BUDAYA BURUK INDONESIA
1.Orang Indonesia suka rapat dan membentuk panitia macam-macam. Setiap ada kegiatan selalu di rapatkan dulu, tentunya dengan konsumsinya sekalian. Setelah rapat perlu dibentuk panitia kemudian diskusi berulang kali,saling kritik, dan merasa idenya yang paling benar dan akhirnya pelaksanaan tertunda-tunda padahal tujuannya program tersebut sebetulnya baik.
2. Budaya Jam Karet
menurut beberapa orang asing yang pernah ke Indonesia. Ketika ditanya kebudayaan apa yang
menurut anda terkenal dari Indonesia dengan spontan mereka jawab :Jam Karet! Saya tertawa tapi sebetulnya malu dalam hati.Sudah sebegitu parahkah disiplin kita.
3. Kalau bisa dikerjakan besok kenapa tidak (?)
Kalau orang lain berprinsip kalau bisa dikerjakansekarang kenapa ditunda besok? Orang Indonesia mempunyai budaya menunda-nunda pekerjaan.
4. Umumnya tidak mau turun ke Lapangan
orang Indonesia yang hebat sekali dalam bicara dan memberikan instruksi tapi jarang yang mau
turun langsung ke lapangan.
BUDAYA JEPANG YANG PATUT DITIRU INDONESIA
Budaya malu (shame culture) sejatinya merupakan sikap dan sifat bangsa Timur/Asia termasuk bangsa kita.Intinya merupakan wujud hati nurani yang benar, bukan hanya di permukaan saja atau cari-cari publisitas saja.Sampai kinipun, bagi masyarakat Jepang moral atau akhlak dalam konseprinri (bertata-krama), jiwanya datang dari China kuno. Ajaran Konfusianisme di Jepang sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi sebagai panduan yang menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga, tapi juga dalam keseharian pelayanan brokrasi dan kelincahan bisnis/mencari untung dengan pertanggungjawaban sosial.
Filsuf kuno Konfusius sudah sejak zaman dulu mengungkapkan secara halus berikut ini “... kesalahan mendasar kita adalah mempunyai kesalahan dan tidak sudi memperbaikinya (the real fault is to have faults and not to amend it).” Setiap kali orang Jepang membuat kesalahan fatal, karena malu menggugat diri/introspeksi diri dengan melakukan meditasi dan kemudian memperbaiki diri atau mengundurkan diri bahkan ada yang sampai ber-harakiri (bunuh diri), karena rasa malu.
Setiap anggota masyarakat di Jepang harus berani dan fokus menatap cermin, setiap pagi sebelum sarapan dan malam sebelum tidur selama 60 detik (satu menit), mengugat diri/introspeksi diri dan bertanya yang ada di cermin, masihkah menghayati etika & norma yang ada atau budaya malu sudah luntur dalam dirinya..??
Dari usia dini, selain diajarkan budaya malu, anak anak diajarkan budaya saling memperhatikan & melayani orang lain, budaya ini telah ditanamkan di sekolah dasar dan TK. Kalau di Indonesia kita mengenal kata piket, di Jepang pun ada, dengan tanggung jawab yang lebih banyak. Kelompok-kelompok piket yang bertugas bukan hanya membersihkan kelas saja, tapi juga membantu memasak dan menyiapkan makanan untuk teman-temannya, menyiram tanaman dan memberi makan binatang piaraan di sekolah.Di hari-hari tertentu jika ada kegiatan bersih-bersih massal, semua orang turun tak terkecuali, termasuk para pimpinan.Di jepang tidak perlu promosi dalam bentuk foto atau siaran TV atas keterlibatan para pimpinan dalam menunjukkkan kesungguhan dan kerja keras, karena di Jepang peduli pada lingkungan & kegiatan bersih bersih masal sudah merupakan hal yang wajar. Yang tidak wajar adalah jika ada yang tidak berpartisipasi atau hanya sekedar tunjuk sana tunjuk sini. Selain itu Anak anak dididik & diberi tanggungjawab sejak dini untuk membawa tas, jaket atau perlengkapan sekolah lainnya sendiri, tanpa bantuan orang tua, saudara ataupun pembantu.
Budaya malu, mendahulukan dan melayani orang lain ini bersumber dari ajaran Zen Buddhism. Melayani menumbuhkan rasa rendah hati dan kepekaan diri.Budaya malu menumbuhkan rasa tanggungjawab, perbaikan diri dan penyesalan yang mendalam.Padahal banyak masyarakat Jepang yang tidak beragama, tapi justru mereka masih sangat teguh memegang tradisi ini dan bisa menghargai, menghormati serta bertenggang rasa pada sesama hingga kini. Betapa indahnya jika kita saling melayani sekaligus punya rasa malu dan betapa damainya jika sifat rendah hati dan saling peduli bisa menjadi keseharian kita tanpa memandang ras, suku bangsa maupun agama.
KESIMPULAN :
Saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita sudah terlalu sering dinina- bobokan oleh istilah indonesia kaya,masyarakatnya suka gotong royong, ada pancasila,agamanya kuat, dan lain-lain.Dan itu hanyalah istilah, kenyataannya bisa kita lihat sendiri. Ternyata negarakita hancur-hancuran, bahkan susah untuk recovery lagi, mana sifat gotong royong yang membuat negara
seperti Korea, bisa bangkit kembali. Kita selalu senang dengan istilah tanpa action. Kita terlalu banyak diskusi,saling lontar ide, kritik, akhirnya waktu terbuang percuma tanpa action. Karena belum apa-apa sudah ramai duluan. Kapan kita akan sadar dan intropeksi akan kekurangan-kekurang an kita dan tidak selalu menjelek-jelekkan orang lain? Selama itu belum terjawab kita akan terus seperti ini, menjadi negara yang katanya sudah mencapai titik minimal untuk disebut negara beradab dan tetap terbelakang disegala bidang. Mudah-mudahan pernyataan beliau menjadi peringatan bagi kita semua, terutama saya pribadi agar bisa lebih banyak belajar dan mampu merubah diri untuk menjadi yang lebih baik.Semoga kita bisa memperbaiki Citra ini dengan sikap 3 M (mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang dan mulai dari yang terkecil).
1.Orang Indonesia suka rapat dan membentuk panitia macam-macam. Setiap ada kegiatan selalu di rapatkan dulu, tentunya dengan konsumsinya sekalian. Setelah rapat perlu dibentuk panitia kemudian diskusi berulang kali,saling kritik, dan merasa idenya yang paling benar dan akhirnya pelaksanaan tertunda-tunda padahal tujuannya program tersebut sebetulnya baik.
2. Budaya Jam Karet
menurut beberapa orang asing yang pernah ke Indonesia. Ketika ditanya kebudayaan apa yang
menurut anda terkenal dari Indonesia dengan spontan mereka jawab :Jam Karet! Saya tertawa tapi sebetulnya malu dalam hati.Sudah sebegitu parahkah disiplin kita.
3. Kalau bisa dikerjakan besok kenapa tidak (?)
Kalau orang lain berprinsip kalau bisa dikerjakansekarang kenapa ditunda besok? Orang Indonesia mempunyai budaya menunda-nunda pekerjaan.
4. Umumnya tidak mau turun ke Lapangan
orang Indonesia yang hebat sekali dalam bicara dan memberikan instruksi tapi jarang yang mau
turun langsung ke lapangan.
BUDAYA JEPANG YANG PATUT DITIRU INDONESIA
Budaya malu (shame culture) sejatinya merupakan sikap dan sifat bangsa Timur/Asia termasuk bangsa kita.Intinya merupakan wujud hati nurani yang benar, bukan hanya di permukaan saja atau cari-cari publisitas saja.Sampai kinipun, bagi masyarakat Jepang moral atau akhlak dalam konseprinri (bertata-krama), jiwanya datang dari China kuno. Ajaran Konfusianisme di Jepang sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi sebagai panduan yang menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga, tapi juga dalam keseharian pelayanan brokrasi dan kelincahan bisnis/mencari untung dengan pertanggungjawaban sosial.
Filsuf kuno Konfusius sudah sejak zaman dulu mengungkapkan secara halus berikut ini “... kesalahan mendasar kita adalah mempunyai kesalahan dan tidak sudi memperbaikinya (the real fault is to have faults and not to amend it).” Setiap kali orang Jepang membuat kesalahan fatal, karena malu menggugat diri/introspeksi diri dengan melakukan meditasi dan kemudian memperbaiki diri atau mengundurkan diri bahkan ada yang sampai ber-harakiri (bunuh diri), karena rasa malu.
Setiap anggota masyarakat di Jepang harus berani dan fokus menatap cermin, setiap pagi sebelum sarapan dan malam sebelum tidur selama 60 detik (satu menit), mengugat diri/introspeksi diri dan bertanya yang ada di cermin, masihkah menghayati etika & norma yang ada atau budaya malu sudah luntur dalam dirinya..??
Dari usia dini, selain diajarkan budaya malu, anak anak diajarkan budaya saling memperhatikan & melayani orang lain, budaya ini telah ditanamkan di sekolah dasar dan TK. Kalau di Indonesia kita mengenal kata piket, di Jepang pun ada, dengan tanggung jawab yang lebih banyak. Kelompok-kelompok piket yang bertugas bukan hanya membersihkan kelas saja, tapi juga membantu memasak dan menyiapkan makanan untuk teman-temannya, menyiram tanaman dan memberi makan binatang piaraan di sekolah.Di hari-hari tertentu jika ada kegiatan bersih-bersih massal, semua orang turun tak terkecuali, termasuk para pimpinan.Di jepang tidak perlu promosi dalam bentuk foto atau siaran TV atas keterlibatan para pimpinan dalam menunjukkkan kesungguhan dan kerja keras, karena di Jepang peduli pada lingkungan & kegiatan bersih bersih masal sudah merupakan hal yang wajar. Yang tidak wajar adalah jika ada yang tidak berpartisipasi atau hanya sekedar tunjuk sana tunjuk sini. Selain itu Anak anak dididik & diberi tanggungjawab sejak dini untuk membawa tas, jaket atau perlengkapan sekolah lainnya sendiri, tanpa bantuan orang tua, saudara ataupun pembantu.
Budaya malu, mendahulukan dan melayani orang lain ini bersumber dari ajaran Zen Buddhism. Melayani menumbuhkan rasa rendah hati dan kepekaan diri.Budaya malu menumbuhkan rasa tanggungjawab, perbaikan diri dan penyesalan yang mendalam.Padahal banyak masyarakat Jepang yang tidak beragama, tapi justru mereka masih sangat teguh memegang tradisi ini dan bisa menghargai, menghormati serta bertenggang rasa pada sesama hingga kini. Betapa indahnya jika kita saling melayani sekaligus punya rasa malu dan betapa damainya jika sifat rendah hati dan saling peduli bisa menjadi keseharian kita tanpa memandang ras, suku bangsa maupun agama.
KESIMPULAN :
Saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita sudah terlalu sering dinina- bobokan oleh istilah indonesia kaya,masyarakatnya suka gotong royong, ada pancasila,agamanya kuat, dan lain-lain.Dan itu hanyalah istilah, kenyataannya bisa kita lihat sendiri. Ternyata negarakita hancur-hancuran, bahkan susah untuk recovery lagi, mana sifat gotong royong yang membuat negara
seperti Korea, bisa bangkit kembali. Kita selalu senang dengan istilah tanpa action. Kita terlalu banyak diskusi,saling lontar ide, kritik, akhirnya waktu terbuang percuma tanpa action. Karena belum apa-apa sudah ramai duluan. Kapan kita akan sadar dan intropeksi akan kekurangan-kekurang an kita dan tidak selalu menjelek-jelekkan orang lain? Selama itu belum terjawab kita akan terus seperti ini, menjadi negara yang katanya sudah mencapai titik minimal untuk disebut negara beradab dan tetap terbelakang disegala bidang. Mudah-mudahan pernyataan beliau menjadi peringatan bagi kita semua, terutama saya pribadi agar bisa lebih banyak belajar dan mampu merubah diri untuk menjadi yang lebih baik.Semoga kita bisa memperbaiki Citra ini dengan sikap 3 M (mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang dan mulai dari yang terkecil).
Langganan:
Postingan (Atom)